Senin, 09 Juli 2012

BEDUG PENDAWA


Bedug Pendawa disebut juga Bedug Kyai Bagelen. Bedug ini diletakkan di serambi Masjid Agung Darul  Muttaqin Kabupaten purworejo. Konon kabarnya bedug ini merupakan bedug terbesar di dunia.

Bedug Pendawa di buat pada zaman Pemerintahan Raden Adipati Cokronegoro I. Bedug ini terbuat dari pangkal pohon Jati Bang, yang batangnya telah dipakai untuk membuat saka guru Masjid Agung serta Pendapa Kadipaten. Pohon  Jati Bang ini memiliki 5 cabang dan pangkalnya  berdiameter hampir 2,5 meter.

Pembuatan bedug ini  dipimpin oleh Raden Tumenggung Prawironagoro yang menjadi Wedana Bragolan sekaligus adik dari Raden Adipati Cokronegoro I. Pembuatannya diperkirakan sekitar tahun 1834 – 1840 Masehi

Setelah jadi bedug ini memiliki ukuran sebagai berikut
Garis tengah bagian depan       = 194 cm
Garis tengah bagian belakang   = 180 cm
Keliling lingkaran depan           = 601 cm
Keliling lingkaran belakang       = 564 cm
Panjang rata-rata                     = 292 cm

Proes pemindahan bakal bedug dari Bragolan menuju Kota Purworejo dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Irsyad, Kaum (Na’ib) desa Solotiang, Loano, Purworejo, Putra menantu Raden Tumenggung Prawironagoro. Bedug tersebut diangkut dengan menggunakan beberapa gelondong kayu yang digunakan sebagai roda, jarak yang ditempuh adalah sekitar 9 km dan memakan waktu sekitar 20 hari.

Setelah bakal bedug tersebut sampai di masjid Agung Kota Purworejo, maka selanjutnya disempurnakan sebagaimana halnya sebuah bedug, yaitu dengan dipasang penutup bedug dari kulit. Karena besarnya bedug itu, maka diperlukan kulit penutup yang besar pula, maka dicarilah kulit yang besar dari hewan besar. Pada masa itu masih banyak terdapat banteng,  maka jatuhlah pilihan pada hewan ini. Setelah kulit banteng didapat, lalu dipanggillah seorang ahli pemangkis (penutup) bedug yang terkenal di Purworejo

Sebelum di tutup, didalam bedug itu dipasang 2 buah gong, dipasang behadapan dengan maksud, apabila bedug tesebut ditabuh, maka getarannya akan diteruskan pada kedua gong tadi. Diharapkan suaranya akan bertambah nyaring (beresonansi).

Bedug Agung yang telah selesai diberi penutup dari kulit banteng tersebut, digantung pada kerangka kayu jati dengan rantai besi. Kemudian diletakkan di sebelah selatan serambi Masjid Agung. Disampingnya diletakkan sebuah kentongan kayu jati yang agak besar sebagai pembantu irama bedug bila di tabuh. Pada awalnya Bedug Ageng itu ditabuh orang apabila telah tiba saatnya sholat fardlu 5 waktu. Jadi dalam satu hari Bedug Agung di pukul dengan irama tertentu sebanyak lima kali. Pada masa itu pepohonan masih cukup rapat, dan udara tidak begitu kotor, tidak ada suara bising dan hiruk pikuk, maka suara serta gema dari bunyi Bedug Agung terdengar sangat keras.

Pada Tanggal l3Mei 1936 penutup bedug di ganti dengan kulit lembu Ongale
Penggantian kulit Bedug Agung yang berikutnya adalah pada tanggal 3 Mei 1993 Masehi, yang diganti ialah kulit penutup bagian belakang, adapun penggatinya hanya kulit sapi biasa yang cukup besar hibah dari seorang dermawan dari Cilacap.

Sebagai penguat sekeliling kulit Penutup Bedug, diberikan paku keling yang terbuat dari kayu jati yang berjumlah 112 buah pada bagian depan dan 98 buah pada bagian belakan.
Untuk memperpanjang usia kulit penutup bedug Bedung Agung ini hanya akan dibunyikan pada hari-hari tertentu saja, tidak setiap hari seperti pada masa lampau. Hari-hari tersebut adalah, hari Kamis, dimulai pada saat menjelang Sholat Ashar, Sholat Maghrib, Shalat Isya’, Sholat Subuh dan menjelang Sholat Jum’at. Setelah itu berhenti. Lalu setiap menjelang Sholat Hari Raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Qurban, pada saat detik-detik Proklamasi Tanggal 17 Agustus serta bila ada kejadian-kejadian penting lainnya. Di luar hari-hari tersebut, Bedug Ageng ini tidak dibunyikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar